KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA
Pengertian
Pembanguna Ekonomi
Pembangunan
ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita
dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan
fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi
penduduk suatu negara.
Pembangunan ekonomi
- Merupakan proses perubahan yang terus menerus
menuju perbaikan termasuk usaha meningkatkan produk per kapita.
b. Memperhatikan
pemerataan pendapatan termasuk pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
c.
Memperhatikan pertambahan penduduk.
d. Meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
e.
Pembangunan ekonomi selalu dibarengi dengan
pertumbuhan ekonomi.
f.
Setiap input selain menghasilkan output yang lebih
banyak juga terjadi perubahan – perubahan kelembagaan dan pengetahuan teknik.
Berbagai indikator kemajuan ekonomi yang telah dicapai
Indonesia sampai dengan awal 2011 meliputi:
- Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai 6,1%,
untuk triwulan I 2011 sebesar 6,5% dan rata-rata dari tahun 2005 –
2010 sebesar 5,7%;
b. Produk
Domestik Bruto (PDB) Rp 7.019 triliun;
c.
Nilai APBN 2011 mencapai Rp 1.229 triliun dengan nilai
kurs Rp 8.904 per US dollar;
d. Pendapatan
Perkapita sekitar Rp 29,54 juta;
e.
Cadangan Devisa US$ 115,8 miliar;
f.
Investasi triwulan I tahun 2011 sebesar Rp 53,6
triliun;
g.
Angka kemiskinan 2010 tercatat 13,3%, sementara angka
pengangguran Februari 2011 tercatat 6,8%;
h. Subsidi
tahun 2011 sebesar Rp 187,6 triliun, meliputi BBM Rp 95,9 triliun, listrik Rp
40,7 triliun, pangan Rp 15,3 triliun, pupuk Rp 16,4 triliun, PSO Rp 1,9
triliun, bunga kredit program Rp 2,6 triliun dan pajak Rp 14,8 triliun.
Keberhasilan dan Kegagalan
Pembangunan Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, pemerintah
Orde Baru cukup berhasil dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi
(rata-rata 7% pada kurun waktu awal 1990-an hingga pertengahan 1990-an),
sehingga Indonesia pernah dikategorikan sebagai “Macan Asia” oleh Bank Dunia.
Hal itu mungkin menjadi prestasi tertinggi terakhir yang diperoleh Indonesia
pada pemerintahan Orde Baru. Sebelumnya, pemerintah Orde Baru berhasil membawa
Indonesia berswasembada pangan (1985), serta menekan angka kelahiran bayi yang
sangat tinggi pada masa pemerintahan Orde Lama. Pemerintah Orde Baru juga
berupaya menciptakan pemerataan persebaran penduduk melalui transmigrasi. Cara
ini terlihat cukup efektif di awal-awal pelaksanaannya. Di samping itu,
pemerintah Orde Baru juga berhasil menekan laju inflasi dari sekitar 650 persen
di zaman Orde Lama menjadi berada rata-rata di bawah dua digit hinga krisis
ekonomi mulai melanda di tahun 1997. Ekspor nonmigas Indonesia juga meningkat,
sehingga Indonesia tidak selalu bergantung pada ekspor minyak dan gas bumi. Akan
tetapi, pembangunan Indonesia banyak bergantung pada bantuan luar negeri.
Negara-negara maju yang bergabung dalam Intergovernmental Group on
Indonesia (IGGI), yang kemudian menjadi Consultative Group on
Indonesia (CGI)berkomitmen untuk secara teratur menyuplai perekonomian
Indonesia dengan hutang luar negeri. Hal ini menybabkan kemandirian
perekonomian Indonesia melemah. Ketergantungan kepada modal asing mengakibatkan
perekonomian menjadi hancur ketika badai krisis melanda tahun 1997. Melemahnya nilai
tukar rupiah menyebabkan banyak investor asing yang keluar dari Indonesia. Pemerintah
Orde Baru jelas gagal membuat rupiah sebagai mata uang kuat. Nilai rupiah tetap
lemah sejak awal Orde Baru hingga sekarang. Pada tahun 1970-an, mobil baru
dapat dibeli dengan harga Rp 1.000,00. Saat in, kita tidak bisa membeli sebuah
mobil baru secara tunai jika hanya mengantongi Rp 50 juta. Pada masa reformasi,
pemerintah berhasil menciptakan kebebasan pers, yang sangat bermanfaat sebagai
alat kontrol pembangunan. Pers membuat masyarakat sadar politik dan sadar hak
sebagai warga negara. Pemerintah juga berhasil membuat iklim berpolitik yang
jauh lebih sehat dibanding masa Orde Baru. Kehidupan politik Indonesia lebih
demokratis dan dinamis pada masa Orde Reformasi. Korupsi, Kolusi, Nepotisme
(KKN) adalah kegagalan terbesar dalam pembangunan Indonesia, mulai dari
pemerintahan masa Orde Baru hingga saat ini. KKN mengakibatkan dunia bisnis
dihadapakan pada “biaya-biaya siluman” dari pungutan tak resmi, yang
menyebabkan proses produksi tidak efisien dan harga menjadi mahal. KKN juga
menyebabkan rendahnya profesionalisme dan wibawa para pejabat negara dan
mengakibatkan penegakan hukum amat sulit diterapkan di Indonesia. Dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi masih memiliki
peranan yang sangat penting dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional.
Keduanya harus berjalan secara beriringan demi tercapainya tujuan pembangunan
nasional. Namun, memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali masalah-masalah
yang dapat menghambat tercapainya tujuan pembangunan nasional, seperti masalah
pengangguran, inflasi dan lain sebagainya. Untuk mengatasinya perlu kecakapan
pemerintah dalam mengelola kebijakan anggaran
-
KEBERHASILAN :
Indonesia Ciptakan Keberhasilan
Perekonomian
Jakarta-Ditengah keberhasilan Indonesia dalam dunia
perekonomian menciptakan sebuah capaian yang bahkan dapat dibilang cukup
positif.
Pernyataan tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian RI Hatta Rajasa saat memberikan Orasi Ilmiah dalam acara wisuda IX Universitas Islam Al-Azhar, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta, Sabtu 29 Juni 2013.
Hatta mengungkapkan, dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam beberapa tahun ini, tidaklah mengherankan jika peringkat Indonesia jika dilihat dari sisi ukuran ekonomi terus naik. Menurut data dari IMF pada tahun 2005 Indonesia masih berada pada peringkat 25. Namun, pada tahun 2010 sudah meningkat ke urutan ke-18 dunia.
Bahkan di tahun 2011 peringkat Indonesia naik lagi ke urutan ke-16 dunia, atau naik dua tingkat dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya. "Benar, Indonesia saat ini adalah negara terbesar ke-16 di dunia. Ekonomi kita sudah melebihi beberapa negara maju seperti Swiss, Norwegia, Swedia, dan Afrika Selatan. Kita bahkan sudah melewati Belanda, negara yang pernah menjajah kita selama sekitar 350 tahun."paparnya.
Pernyataan tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian RI Hatta Rajasa saat memberikan Orasi Ilmiah dalam acara wisuda IX Universitas Islam Al-Azhar, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta, Sabtu 29 Juni 2013.
Hatta mengungkapkan, dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam beberapa tahun ini, tidaklah mengherankan jika peringkat Indonesia jika dilihat dari sisi ukuran ekonomi terus naik. Menurut data dari IMF pada tahun 2005 Indonesia masih berada pada peringkat 25. Namun, pada tahun 2010 sudah meningkat ke urutan ke-18 dunia.
Bahkan di tahun 2011 peringkat Indonesia naik lagi ke urutan ke-16 dunia, atau naik dua tingkat dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya. "Benar, Indonesia saat ini adalah negara terbesar ke-16 di dunia. Ekonomi kita sudah melebihi beberapa negara maju seperti Swiss, Norwegia, Swedia, dan Afrika Selatan. Kita bahkan sudah melewati Belanda, negara yang pernah menjajah kita selama sekitar 350 tahun."paparnya.
Lanjutnya, kita harus ingat bahwa laju pertumbuhan ekonomi tersebut dicapai di tengah krisis utang Eropa yang telah menyeret sebagian negara Eropa ke dalam resesi. Selain itu, perekonomian China dan India, dua negara yang dianggap sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi Asia, juga mengalami perlambatan yang signifikan.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam beberapa tahun ini, tidaklah mengherankan jika peringkat Indonesia bila dilihat dari sisi ukuran ekonomi terus naik. Menurut data dari IMF pada tahun 2005 Indonesia masih berada pada peringkat 25. Namun, pada tahun 2010 sudah meningkat ke urutan ke-18 dunia.
Pertumbuhan Ekonomi Mencerminkan Keberhasilan Para
Pekerja di Asia Timur-Pasifik
JAKARTA, 8 Mei 2014 – Dengan
pesatnya pertumbuhan ekonomi yang mendorong peningkatan partisipasi tenaga
kerja di Asia Timur hingga menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, laporan
terkini Bank Dunia mendorong para pembuat kebijakan untuk menerapkan peraturan
ketenagakerjaan dan kebijakan perlindungan sosial demi kepentingan seluruh
tenaga kerja, termasuk pekerja sektor informal yang sangat besar, demikian
saran laporan East Asia Pacific at Work: Employment, Enterprise, and
Well-Being.
Dalam dua dekade terakhir, kawasan Asia Timur-Pasifik
menikmati peningkatan produktivitas dan mengalami transformasi struktural yang
singkat. Banyak penduduk pindah ke kawasan perkotaan dan output
meningkat di bidang pertanian, manufaktur, dan jasa. Dengan sepertiga tenaga
kerja dunia berada di kawasan ini pada tahun 1990, negara-negara yang satu
generasi lalu tergolong miskin kini telah mengintegrasikan dirinya ke dalam
rantai nilai global. Proporsi penduduk yang bekerja atau sedang mencari
pekerjaan di banyak negara dalam kawasan ini, termasuk perempuan, lebih tinggi
dari pada di kawasan lain dengan tingkat pendapatan yang sama.
“Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa pesat di Asia
Timur-Pasifik telah membuka banyak lapangan kerja dan mengangkat jutaan penduduk
keluar dari kemiskinan. Hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi para
pekerja,” ujar Axel van Trotsenburg, World Bank East Asia and Pacific
Regional Vice President. “Kini waktunya untuk mengkonsolidasi
pertumbuhan melalui penerapan kebijakan sosial yang melindungi semua warga, dan
bukan hanya sektor, wilayah, atau profesi tertentu. Bila dirancang dengan
baik, kebijakan-kebijakan ini mampu memastikan terciptanya perlindungan sosial
dan peraturan ketenagakerjaan yang akan merangkul para pekerja paling rentan
sekalipun.”
Meskipun demikian, dengan melambatnya pertumbuhan
ekonomi di kawasan ini dan meningkatnya biaya tenaga kerja, hambatan dalam
pasar tenaga kerja serta kebijakan sosial menjadi isu yang semakin mendesak.
Walaupun di atas kertas kebijakan-kebijakan tersebut tampak kokoh, namun kerap
kurang didukung oleh penegakan hukum yang baik.
Hal ini mengakibatkan semakin banyak penduduk –
terutama perempuan, kaum muda, serta mereka yang memiliki keterampilan
terbatas, seperti pelayan kebersihan atau penyedia makanan – terpaksa melakukan
pekerjaan yang tidak terlindungi, tidak tercakup dalam peraturan, dan tidak
terkena pajak, atau bahkan menjadi penganggur.
Penyediaan kompensasi pengangguran yang sederhana dan
didanai pemerintah, misalnya, dapat membantu para pemilik usaha menghindari
skema PHK yang berbiaya besar, serta menurunkan pajak ketenagakerjaan dan
mendorong formalisasi badan usaha, demikian menurut laporan tersebut.
Kebijakan kesehatan universal Thailand, misalnya, adalah program jaminan
sosial yang berhasil menekan biaya bagi pasien dan mendorong peningkatan
pemanfaatan layanan kesehatan.
Laporan tersebut, yang merupakan tindak lanjut dari
laporan World Development Report 2013: Jobs,
menyumbangkan bukti empiris sederhana tentang dampak kebijakan ketenagakerjaan
dan opsi reformasi di Asia Timur-Pasifik. Keragaman ekonomi berkembang di
kawasan ini – mulai dari perdesaan hingga perkotaan serta kepulauan kecil dan
terpencil – menampik pendekatan tunggal. Dinamika ekonomi dan demografis di
kawasan tersebut, serta rekam jejak ketenagakerjaan yang relatif singkat,
menggarisbawahi peluang serta mendesaknya penerapan model perlindungan sosial
berbiaya lebih rendah di negara-negara Asia Timur-Pasifik, dibandingkan negara
di kawasan dengan kebijakan yang telah mapan.
“Bisnis seperti biasa bukanlah sebuah pilihan,”
ujar Bert Hofman, Chief Economist of the World Bank’s East Asia and Pacific
Region. “Konsekuensi dari kurangnya tindakan lebih lanjut untuk
memastikan terciptanya manfaat kesejahteraan sebagai hasil kerja akan semakin
mengancam ketahanan sosial dan – seiring melambatnya pertumbuhan – akan
menghambat produktivitas dan membatasi peningkatan standar hidup.”
Kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan yang ada, menurut
laporan tersebut, belum mampu membantu sebagian besar tenaga kerja dan
cenderung mengutamakan pekerja laki-laki dalam sektor formal, dibanding
perempuan, kaum muda, dan mereka yang kurang terlengkapi oleh ‘skills’. Bukti
empiris menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum di Indonesia, Vietnam, dan
Thailand telah mengurangkan peluang kerja terutama bagi perempuan dan tenaga
kerja muda.
Di berbagai penjuru kawasan, lebih dari 30 persen
penduduk berusia 15-24 tahun sama sekali tidak tertangani – mereka tidak
memiliki pekerjaan maupun mengenyam pendidikan atau pelatihan. Hal ini
menciptakan segmentasi pasar, selain meningkatkan risiko keresahan sosial dan
tindak kekerasan. Sementara itu, kenaikan upah bagi tenaga kerja terlatih, yang
didukung oleh kebijakan yang ada, telah meningkatkan kesenjangan di beberapa
negara.
Agar pembangunan di kawasan ini tetap pada jalurnya,
laporan tersebut menyarankan agar negara-negara di Asia Timur-Pasifik tidak
sekedar mempertimbangkan pasar tenaga kerja yang ada, dan memusatkan
perhatiannya pada hal-hal mendasar, seperti tindakan yang memastikan
terciptanya stabilitas harga, mendorong investasi dan inovasi, serta mendukung
suatu kerangka kebijakan yang mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah,
yang menyerap sebagian besar tenaga kerja di kawasan ini.
“Kebijakan industrial yang terpusat
(top-down) tidak efektif dalam kerangka ekonomi global sekarang yang semakin
terintegrasi dan berbasiskan aturan,” ujar Truman Packard, penulis
utama laporan ini. “Penentu kebijakan harus mempertimbangkan
reformasi kebijakan di berbagai bidang dan menerapkan kebijakan yang
dapat melindungi seluruh tenaga kerja, bahkan mereka yang berwirausaha maupun
yang mempekerjakan orang lain.”
Keragaman ekonomi di kawasan ini, tentunya,
menyebabkan prioritas kebijakan yang berbeda pula di masing-masing negara.
Untuk kebanyakan negara yang masih bersifat agraris, laporan ini menyarankan
agar pembuat kebijakan menekankan pada upaya peningkatan produktivitas bidang
pertanian dan mendorong pengembangan usaha non-pertanian.
Bagi ekonomi dengan kawasan perkotaan yang berkembang,
seperti China, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, laporan ini menyarankan agar
pemerintah memusatkan perhatiannya pada perbaikan sarana kota, melalui
perbaikan infrastruktur dan peningkatan sektor jasa.
-
KEGAGALAN :
Kegagalan
Ekonomi dan Bangsa yang Kian Rapuh
Oleh Sigit Wibowo,
JAKARTA — Bangsa ini harus berada di bawah payung IMF dan Bank Dunia
untuk keluar dari krisis ekonomi global. Begitulah pernyataan salah seorang
pejabat eselon I Departemen Keuangan dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh
Kedutaan Inggris di Jakarta beberapa waktu lalu.
Daya tarik lembaga-lembaga donor
seperti IMF dan Bank Dunia tersebut betul-betul membelenggu intelektual atau
ekonom Indonesia. Sampai-sampai, dalam pemahaman para ekonom neoliberal (ekonom
pasar bebas) yang sekarang mengelola perekonomian, bangsa Indonesia tidak bisa
hidup tanpa kehadiran IMF dan Bank Dunia. Ekonomi pasar dengan peran negara
yang amat minim, akhirnya diyakini secara mentah-mentah mampu membawa kejayaan
dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Meskipun lebih dari 43 tahun
Indonesia membangun perekonomian dengan prinsip pasar, sebenarnya bangsa ini
terus-menerus berada pada terowongan gelap. Terbukti hingga kini, bangsa
Indonesia tak jua menemukan cahaya kesejahteraan dan kejayaan yang dijanjikan
para ekonom tersebut.
Bahkan, pascakrisis ekonomi
1998, di mana bangsa ini sangat getol menerapkan ekonomi pasar, kondisi
perekonomian justru makin memburuk. Pelan tapi pasti, satu per satu sumber daya
alam dan aset yang dimiliki rakyat Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha
Esa, jatuh ke tangan asing.
Ekonom-ekonom neoliberal
menganggap hal ini sebagai proses biasa sebagai bagian dari globalisasi dan
liberalisasi ekonomi. Kenapa pertanyaan yang sama tidak mereka ajukan kepada
Amerika Serikat (AS) yang menjadi panutan dan suri teladan ekonom kapitalis.
Kita tidak bisa membayangkan
betapa besar kemarahan rakyat AS jika perusahaan-perusaha an keuangan, seperti
Citigroup, JP Morgans, dan lain-lain, karena nyaris bangkrut dibeli oleh China.
Analogi yang sama juga terjadi di Indonesia, di mana pemerintah menjual murah
aset bank-bank pascakrisis.
Kegagalan
pembangunan ekonomi pada masa orde baru
Ketergantungan kepada modal
asing mengakibatkan perekonomian menjadi hancur ketika badai krisis melanda
tahun 1997. Melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan banyak investor asing
yang keluar dari Indonesia.
Pemerintah Orde Baru jelas gagal membuat rupiah sebagai mata uang kuat. Nilai rupiah tetap lemah sejak awal Orde Baru hingga sekarang. Pada tahun 1970-an, mobil baru dapat dibeli dengan harga Rp 1.000,00. Saat in, kita tidak bisa membeli sebuah mobil baru secara tunai jika hanya mengantongi Rp 50 juta.
Pemerintah Orde Baru jelas gagal membuat rupiah sebagai mata uang kuat. Nilai rupiah tetap lemah sejak awal Orde Baru hingga sekarang. Pada tahun 1970-an, mobil baru dapat dibeli dengan harga Rp 1.000,00. Saat in, kita tidak bisa membeli sebuah mobil baru secara tunai jika hanya mengantongi Rp 50 juta.
Contoh
keberhasila dan kegagalan yang lainnya:
v Keberhasilannya
adalah : indonesia tidak menjadi negara pengimpor lagi,namun sudah mejadi
negara pengekspor, Banyaknya produk yg diekspor mengakibatkan ekonomi naik juga
pendapatan perkapita.
·
Kegagalannya adalah : penurunan daya
jual maupun beli rupiah.
v Keberhasilan
: Dalam kenaikan saham yang dibeli oleh investor asinng.
·
Kegagalan : Masih banyak rakyat miskin
di indonesia
v Keberhasilan
pemerintah orde baru: Pertumbuhan ekonomi yang tinggi,swasembada
pangan,menekankan angka kelahiran yang tinggi,transmigrasi,menekankan laju
inflasi,dan peningkatan ekspor non migasi.
·
Kegagalan pemerintah orde baru: Krisis melanda ditahun
1997,keberhasilan reformasi,kebebasan pers,kehidupan politik lebih demokratis
dan dinamik.
1 komentar:
halo kak terimakasih atas ilmunya
Posting Komentar